top of page

Rumah Angkara : Selamat Datang

Malam itu, ketika usiaku masih 10 tahun, aku terbangun di tengah tidurku yang damai karena tenggorokanku merengek kehausan. Jam berapa ini? Tanyaku dalam hati, masih setengah sadar. Jam dinding yang terpasang di depanku, tepat di atas pintu dapur, menjawab pertanyaanku. Dengan mata yang tidak sepenuhnya terbuka, aku dapat melihat bahwa jam dinding menunjukkan pukul 01.30 dini hari, iya dini hari. Masih terlalu dini bagiku pergi ke dapur untuk mengambil segelas air putih. Aku memilih untuk menghiraukan rasa haus itu dan mencoba untuk terpejam kembali.


Tak lama kemudian, aku terbangun lagi. Lebih tepatnya, aku tidak tahu apakah aku terbangun lagi atau memang belum terpejam sejak tadi. Yang pasti saat itu aku dalam keadaan sadar, tidak tertidur sama sekali. Mataku memang tertutup, tapi otakku dapat mencerna keadaan di ruang keluarga kami pada malam itu. Iya, kami berlima tidur bersama di ruang keluarga, padahal ada tiga kamar kosong di lantai atas. Ayah dan adik laki-lakiku tidur menghadap televisi. Sedangkan, aku, ibu, dan adik bungsu tidur dalam alas yang sama menghadap pintu dapur.


Tanpa diminta, mataku terbuka sedikit demi sedikit. Sepertinya, ada hal yang menarik bagi otakku sampai ia menstimulus saraf-saraf dalam tubuhku untuk membuka mata sehingga kami dapat melihatnya bersama-sama. Tepat ketika kedua mata sudah terbuka setangahnya, aku dapat melihat seorang, entah perempuan atau bukan, mengenakan dress putih bersih, sebersih Negara Wakanda yang bebas korupsi. Ya, maksudku rambut panjang sebahu, dress putih panjang hingga menutupi kaki tidak menjelaskan keperempuanan seseorang, toh?


Bodoh. Dasar otak bodoh. Bodoh jangan dipelihara, dong. Kataku dalam hati, sebal pada otak di kepalaku. Dibandingkan otak, hatiku sepertinya lebih cepat mencerna keadaan bahaya tingkat dewa karena berkatnya, aku sadar bahwa yang di depanku bukan orang, ya karena memang tak ada wajah, tangan , ataupun kaki, melainkan sosok… sosok… sosok itu loh… aduh malas sekali aku mengatakannya. Sebut saja, KunKun. You know if you know


Aku memang ketakutan, tapi tubuhku tidak tiba-tiba berhenti bergerak seperti kebanyakan orang yang mengalami peristiwa serupa. Aku terus menyipitkan mata, berusaha memperjelas penglihatanku. Siapa tahu itu hanyalah bagian dari mimpi buruk seorang anak usia 10 tahun. Aku tidak menyerah. Aku terus melakukan hal yang sama, menyipitkan mata hingga ia tertutup sempurna, lalu kembali membukanya sedikit demi sedikit hanya untuk memastikan bahwa yang ku lihat itu adalah DIA, Si KunKun. Sial, benar lagi. Dia masih terus disana. Diam, tidak bergerak kesana kemari atau menghampiriku yang sedang membuka-tutup mata di pagi buta. Dia tetap dengan pendiriannya, berdiri tegak di depan pintu dapur seperti akan menghadang siapa pun yang melewatinya.


Aku benar-benar ketakutan sekarang, tapi tubuhku ini tidak bisa diajak kompromi. Aku tidak diberikan waktu untuk terlelap dan melupakan semua yang terjadi saat itu. Karena aku tidak ingin sendirian, maksudku hanya berdua dengan Si KunKun, aku coba bangunkan ibuku dan meminta untuk mengambilkan air putih di dapur. Sopan bukan?


“Ibu, aku haus. Bu… Bu…”

Ibu terbangun dan tanpa menjawab ia segera beranjak ke dapur mengambil segelas air putih untuk putri sulungnya. Iya, ibu ke dapur melewati pintu itu, melewati tempat Si KunKun berdiri bahkan menembusnya. Ibu menembus sosok itu. Saat itu, aku sangat berharap ibu menjerit karena melihat KunKun sehingga aku tidak ketakutan sendirian, tapi kenyataan berkata sebaliknya. Ibu dengan tenangnya berjalan kembali dari dapur dengan segelas air putih, lalu memberikannya padaku, dan kembali terlelap setelah dua kali menembus sosok KunKun satu itu. Dan seketika aku kembali dibiarkan berdua dengannya.


Seharusnya, aku bersyukur karena dia tidak bergerak menghampiriku walau tahu bahwa aku menyadari kehadirannya. Tapi, aku tetap takut. Aku bangunkan lagi ibu dan bilang hal yang sama, bahwa aku masih haus. Sopan bukan? Ibu beranjak lagi ke dapur, menembus KunKun lagi, dan memberikan gelas padauk sekali lagi. Terus berulang kali sampai ibu mengomel padaku, mulai dari mengomel kecil sampai mengomel besar. Hal itu ku lakukan bukan tanpa alasan, aku hanya tidak ingin dibiarkan berdua dengan Si KunKun.


Tidak terasa, adzan subuh dari masjid dan mushollah sekitar mulai berkumandang dan saling bersautan. Akhirnya, aku tidak lagi sendirian. Kini tidak hanya Ayah dan ibu yang akhirnya bangun, tetapi juga Bu Runi, Pak Syamil, Pak RT dan warga lain yang hendak berangkat sholat subuh berjamaah. Senangnya… akhirnya bisa tidur juga, walau Kunkun masih disana, walau ayah dan ibu tidak menyadari kehadirannya. Ku sudah tidak peduli karena matahari datang sebentar lagi


Jadi, itulah mengapa kami sekeluarga memustuskan untuk pindah rumah, tentunya setelah ku dengar cerita dari adik yang dilihati Poci ketika sedang tertidur di depan televisi, ayah yang mendengar seorang anak kecil bermain sepeda di dalam rumah kami pada dini hari, atau ibu yang diganggu oleh suara bising seperti barang-barang yang terlempar kesana kemari di lantai atas rumah kami ketika sedang memasak. Tak lupa, adik bungsuku yang terlihat sedang bermain dan berbicara bersama teman-temanya, padahal saat itu ia hanya berdua dengan ibu di ruang keluarga. Serta, cerita asisten rumah tangga yang melihat ayahku sedang duduk di teras rumah pada jam 6 pagi, padahal saat itu ayah belum juga kembali dari masjid. Dan cerita serupa yang ku dengar dari para tetangga tentang rumah kami. Aku sih percaya tidak percaya, ya. Percaya karena ku juga mengalami peristiwa yang sama, tak percaya karena ku rasa masih bisa dijelaskan dengan logika.


Namun, sebenarnya, alasan utama kami pindah rumah ialah fakta bahwa ibuku trauma. Iya, ibu trauma setelah rumah kami dibobol maling dua kali dalam setahun. Terlebih lagi, malingnya adalah adik dari tetangga yang rumahnya tepat bersebelahan dengan rumah kami, yang istrinya selalu pergi arisan bersama dengan ibu, yang suaminya selalu meminjamkan pompa ban sepeda kepada ayah, yang anaknya selalu bermain bulu tangkis bersamaku saat malam tiba, yang pasti sudah kami anggap lebih dari sekadar tetangga. Nggak nyangka hari ini tepat dua tahun rumah kami dibobol maling.


Sampai juga. Di depanku kini berdiri rumah putih bertingkat dua dengan gaya yang tidak jelas, dibilang American classic nggak juga, dibilang mediteranian apalagi, tapi yang pasti indah, bersih, dan sangat layak untuk ditempati.


Rumah baru kami dulunya adalah rumah tua di pinggiran Jakarta Utara, tepatnya di sebuah gang yang tidak terlalu kecil, tidak juga terlalu besar, tetapi cukup. Ayah memilih rumah tua ini karena ukuran tanahnya yang lebih besar dibandingkan rumah lama kami, serta letaknya yang strategis, dekat masjid, pos satpam, rumah nenek, rumah bude, rumah pade, lapangan, kantor rw, rumah sakit, sekolahan, sampai wisata kuliner. Rumah tua ini dibangun ulang karena ayah tidak ingin menempati bangunan yang sudah pernah ditinggali oleh orang lain, dan karena sebuah batang pohon kelapa sudah menghancurkan setengah bagian dari rumah ini.


“Kak, sini bantu angkat barang-barang!”

Oh iya, masih ada barang-barang yang harus dipindahkan. Coba saja mereka bisa memindahkan diri mereka sendiri. Kataku dalam hati. Aku segera turun ke lantai bawah untuk membantu ayah dan ibu. Sesaat ketika aku sedang menuruni anak tangga, aku melihat salah satu kotak yang kami bawa bergerak sendiri. Tunggu. Kotak itu bergerak! Dari yang semula ada di salah satu pojok ruang keluarga, kini telah berpindah di sisi lain. Aku berhenti sejenak, berusaha mencerna apa yang sedang terjadi sampai akhirnya aku sadar. Seorang perempuan bertubuh kurus, sangat kurus, dengan rambut tipis yang terontok-rontok ketika sedang bergerak dan pakaian lusuh selutut sedang mendorong kotak itu. Setelahnya, ia kembali ke pojok ruangan tempat kotak itu sebelumnya berada, lalu berdiri tegak sambil tersenyum dan melambaikan tangan kepadaku, seakan mengucapkan “Selamat Datang”


Sial. Lagi dan lagi, ruang keluarga rumah kami akan jadi milik bersama dengan mereka yang lebih dahulu pergi


Namaku Noermala. Ditulis dengan ejaan lama. Aku bukan anak indigo, indihome, apalagi india. Aku hanya anak penakut yang dilahirkan oleh kedua orang tuaku di rumah sakit Pelabuhan Jakarta Utara, yang sangat peka dengan mereka yang sulit sekali untuk dipercaya keberadaannya.


Selamat. Kalian telah menjadi bagian dari rumahku, Rumah Angkara. Sebuah hunian yang menyimpan 1001 cerita. Selamat Datang, teman-teman! Semoga betah, ya!

Comments


Drop Me a Line, Let Me Know What You Think

Thanks for submitting!

© 2023 by Train of Thoughts. Proudly created with Wix.com

bottom of page