Tujuh Belas Tahun dan Tetap Saja Tidak Berguna
- prahestha putri
- Jul 21, 2021
- 3 min read
Updated: Jul 27, 2021

“Menyebalkan. Anak itu masih bertanya lagi tentang hal yang sama setiap kami berpapasan.”
“Tentang apa?”
“Tentang apa rasanya menjadi manusia di umur 17 tahun.”
“Lalu?”
“Ku jawab ‘Nggak tahu. Tanya saja ibumu.’”
“Kalau aku yang tanya, ‘Hei, apa yang kamu rasakan menjadi manusia di umur 17 tahun?’ Kamu akan jawab apa?”
Hening.
“Tidak ada. Tujuh belas tahun aku hidup dan tetap saja tidak berguna.”
Ada anak kecil di sekitar komplek rumahku. Usianya kira-kira 10 atau 11 tahun. Mungkin. Cara berpikirnya lebih cepat dari anak seusianya. Pernah dia bertanya tentang rasanya menjadi seorang ibu pada ibuku. Besoknya, dia bertanya tentang rasanya jadi pekerja kantoran nine to five pada ayahku. Besoknya lagi, dia bertanya tentang rasanya bergulat dengan skripsi pada kakakku. Bagimana bisa dia tahu sebuah kata bernama ‘skripsi’ di usianya?
Teman menutup bukunya. Meneguk teh panas yang dipesan beberapa menit sebelumnya. Kopi pahit bukan pasangannya kali ini. Sebab lambungnya sedang tidak bisa diajak kompromi. Ia tertawa kecil sambil berekspresi takjub pada Si Kecil yang aku ceritakan.
“Kenapa tidak langsung kamu jawab saja?”
“Apa?”
“Pertanyaannya. Menjadi manusia di umur 17 tahun.”
“Sudah pernah. Aku bilang ‘Gitu-gitu saja. Nggak ada yang berubah’”
“Lalu?”
“Dia bilang ‘Jangan bohong. People grow up. People change. So their thoughts’”
Teman tertawa kembali dan takjub pada Si Kecil di ceritaku sekali lagi.
“Jawab yang jujur kalau begitu.”
“Itu sudah jujur. Aku juga bingung apa yang ku rasakan sebagai anak 17 tahun.”
“Bingung di mananya?”
“Tidak tahu juga.”
Teman seperti sudah tak tertarik lagi untuk ikut andil dalam percakapan sore itu. Ia kembali mengambil bukunya dan melanjutkan apa yang ia baca sebelumnya. Aku ditinggalkan berdua dengan pikiranku yang bertanya-tanya pada diriku sendiri. Memang apa yang aku rasakan menjadi manusia di umur 17 tahun?
“Kalo kamu sendiri bagaimana?”
“Saat aku masih 17 tahun?”
“Iya, saat itu.”
“It was a sweet seventeen.”
“Berlebihan.”
Teman tertawa, “Aku juga sama denganmu saat itu. Sama-sama bingung. Bingung mau jadi apa. Lebih tepatnya, selanjutnya aku akan apa. Apa aku akan terus berteman dengan tumpukkan buku lusuh di kamar atau pergi keluar cari udara segar lalu berbicara dengan orang sekitar. Apa aku akan masuk sekolah kedokteran agar orang tuaku bangga atau aku masuk sekolah memasak agar aku bahagia. Sayangnya, kita tinggal di lingkungan yang memaksa kita untuk cepat tahu kita mau jadi apa. Padahal, mereka yang berusian 25 tahun saja belum tentu sudah menjawabnya. Dengan jawaban yang tepat pula.”
“Namun, tepat malam itu, aku hanya bisa berterima kasih pada Yang Maha Kuasa karena telah dibolehkan hidup sampai tujuh belas tahun lamanya. Lalu, aku katakan maaf pada Sang Pencipta karena ya… sebagai hambaNya aku masih tidak tahu diri. Hanya sibuk dengan hal-hal tidak berguna, mengeluh, dan lupa akan kuasaNya. Setelahnya, aku minta sebanyak-banyaknya karena ku rasa Dia menyukainya.”
“Lalu, apakah kamu merasa berguna saat itu?”
“Tidak juga. Harus sekali, ya, kita jadi orang yang berguna di usia muda?”
“Ya… setidaknya itulah cita-citaku.”
“Kalau begitu, aku tidak sesempurna dirimu. Kata “Berguna” rasanya bukan untukku. Dari pada berguna, aku lebih seperti… menyusahkan. Nggak bisa apa-apa. Aku masih tinggal di rumah orang tua. Sebagai bayarannya, aku bantu bersih-bersih rumah setiap Sabtu atau Minggu dan belajar setiap waktu. Bukan untuk jadi juara satu, hanya saja aku tidak ingin piring mamak habis karena melihatku di posisi satu dari bawah. Aku masih seperti anak sekolah biasa. Kerjaannya hanya bisa minta uang jajan sama orang tua. Sebagai bayarannya, aku tabung semua sisa uangnya. Ketika bapak tanya apakah uangku masih ada, aku akan jawab tidak ada. Kalau aku jawab ada, celengan ayamku tidak akan penuh-penuh. Ya… mungkin aku belum bisa angkat derajat keluarga, tetapi ku rasa mereka tetap bangga. Ku rasa…”
“Kalau itu sih aku juga.”
“Lalu ‘Berguna’ yang kamu maksud seperti apa? Membantu korban bencana?”
“Tidak tahu juga.”
“Kalau begitu, cari tahulah. Hari ini, Yang MahaKuasa masih memberimu ruang bernafas. Itu artinya, kamu diberi waktu untuk jadi berguna sebelum kamu harus kembali ke pelukanNya. Yang Maha Kuasa memang menciptakanmu untuk jadi Orang yang Berguna.”
Comments